Kamis, 03 Desember 2015

UJUNG KULON

Sejarah Taman Nasional Ujung Kulon

Sejarah Taman Nasional Ujung Kulon - Jauh sebelum Gunung Krakatau meletus, kawasan Ujung Kulon telah diketahui memiliki kekayaan flora dan fauna yang sangat kompleks. Kawasan ini pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh F. Junghun, seorang ahli botani dari negara Jerman, pada tahun 1846. Setelah itu, para peneliti mulai tertarik terhadap keanekaragaman satwa dan tumbuhan di Ujung Kulon. Bahkan beberapa tahun kemudian, perjalanan ke Ujung Kulon masuk dalam jurnal ilmiah. Namun sayang, pada waktu itu belum banyak catatan yang dihasilkan dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan.

Pada tahun 1883 Gunung Krakatau meletus dan memporakporandakan seluruh kawasan Ujung Kulon. Pemukiman penduduk hampir tersapu bersih oleh gelombang tsunami setinggi lebih dari 15 meter. Diperkirakan letusan tersebut juga memusnahkan beberapa jenis vegetasi dan satwa liar yang ada di kawasan tersebut. Namun beberapa tahun kemudian ekosistem di kawasan Ujung Kulon diketahui telah pulih kembali. Berbagai jenis vegetasi dan satwa liar yang hidup dalam habitat di kawasan itu dapat ternyata dapat tumbuh dan berkembang lebih cepat. Dalam perkembangannya, beberapa area hutan ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi.

Pada tanggal 16 November 1921, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 60, yang menetapkan bahwa Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan sebagai Kawasan Suaka Alam. Surat Keputusan dari Pemerintah Hindia Belenda ini dikeluarkan berdasarkan rekomendasi dari The Netherlands Indies Society for The Protectin of Nature, yaitu sebuah perhimpunan yang bergerak dalam usaha perlindungan alam. 16 tahun kemudian, melalui Surat Keputusan Nomor 17, yang dikeluarkan pada tanggal 24 Juni 1937, Besluit Van Der Gouverneur–General Van Nederlandch–Indie, mengubah status Kawasan Suaka Alam Ujung Kulon menjadi Kawasan Suaka Margasatwa. Surat Keputusan tersebut juga menambahkan wilayah Pulau Peucang dan Pulau Panaitan dalam Kawasan Suaka Margasatwa.

Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 17 April 1958, status sebagai Kawasan Suaka Margasatwa diubah kembali menjadi Kawasan Suaka Alam melalui SK Menteri Pertanian Nomor : 48/Um/1958. Dalam SK tersebut Kawasan Suaka Alam diperluas dengan menambahkan wilayah perairan dengan radius 500 meter dari batas air surut terendah. Luas tersebut ditambah lagi dengan memasukkan kawasan Gunung Honje seluas 10.000 hektare pada tanggal 16 Maret 1967, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 16/Kpts/Um/3/1967, dan Kawasan Suaka Alam ditetapkan sebagai Cagar Alam Ujung Kulon. Pada tanggal 11 Januari 1979 luas Cagar Alam Ujung Kulon kemudian ditambah lagi dengan memasukkan kawasan Gunung Honje Utara seluas 9.498 hektare malalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 39/Kpts/Um/1979. Setahun kemudian, pada tanggal 2 Februari 1980, Menteri Pertanian Republik Indonesia mengesahkan Tata Batas di Cagar Alam Gunung Honje. Berita Acara Tata Batas ditandatangani pada tanggal 26 Maret 1980.

Taman Nasional Ujung Kulon

Taman Nasional Ujung Kulon


Status sebagai Taman Nasional Ujung Kulon baru ditetapkan pada 26 Februari 1992 melalui Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : 284/Kpts-II/1992. Luas Taman Nasional ini ditetapkan 122.956 hektar, yang terdiri dari 78.619 hektar wilayah daratan dan 44.337 hektare wilayah perairan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar