Kamis, 03 Desember 2015

SEJARAH CARINGIN

Sejarah Caringin, Mengkaji Kisah Regen Boncel, meletus krakatau Sampai Pada masa Syekh Asnawi

Urgensi melestarikan benda cagar budaya dan kegiatan literatur dalam penulisan sejarah merupakan bentuk kepedulian dan tanggung jawab baik kita sebagai person “pewaris sejarah” maupun lembaga formal seperti kementrian budaya atau ditingkat regionalnya Dinas Pariwisata dan Budaya agar generasi s.aat ini dan selanjutnya tidak melupakan sejarah dan makna didalamnya, karena apabila dilihat dari waktu kewaktu kondisi hari ini terkait pelestarian benda cagar budaya sangat memprihatinkan sebagai contoh di kawasan provinsi Banten seperti benteng-benteng di kesultanan Banten Lama yang seperti tidak mendapatkan perhatian padahal animo pengunjung sangat besar baik wisata religi maupun sejarahnya.
Sebagaimana tema yang penulis angkat kali ini tentang Sejarah Caringin, Mengkaji Kisah Regen Boncel, meletus krakatau Sampai Pada masa Syekh Asnawi, merupakan karya sederhana sebagai pembelajaran khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca dan usaha memperkaya karya tulis sejarah tentang sejarah Caringin yang memang kurang mendapatkan perhatian dari para sejarawan, referensi yang penulis gunakan adalah karya ilmiah yang terdapat pada website Disbudpar Pandeglang dan Provinsi Banten, buku serta cerita rakyat yang memang masing ada.
I). Nama Caringin
Nama Caringin saat ini adalah nama suatu desa yang terletak di kecamatan Labuan kab. Pandeglang-Banten yang secara geografis terletak dibibir pantai, menurut Syaukatudin (Tokoh Masyarakat) Nama Caringin berasal dari keberadaan pohon beringin di caringin dulu dan sesuai perjalanan waktu pohon beringin menjadi identitas penamaan wilayah sehingga disebut menjadi Caringin, selain itu ada pula yang memaknai bahwa pohon beringin adalah filosofi dari pohon beringin yang memiliki ranting-ranting yang berkembang dengan daun-daunnya dan meneduhkan disekitarnya hal ini relevan dengan kondisi wilayah caringin yang memiliki tokoh ulama yang mendidik ilmu agama dan sosial masyarakat caringin serta pejuang perlawanan terhadap kolonial belanda yaitu Syekh Asnawi, bahkan sampai dengan saat inipun wilayah caringin masih terkenal dengan pondok pesantren salafi serta pendidikan formal Madrasah Masyariqul Anwar Caringin.
II). Regen Boncel dan Keregenan Caringin
Nama regen bocel melekat dengan sejarah Caringin, sebagaimana dalam karya tulis dan cerita yang berkembang dalam masyarakat wilayah Caringin bahwa regen Boncel adalah regen di keregenan Caringin dengan nama lengkap TB.Wirajaya. (1816- ? ) beliau adalah pendatang dari daerah Jawa Barat yang pergi dari rumah merantau sampai langkah kakinya menginjak tanah Caringin dan kemudian mengabdi di rumah disalah satu tokoh, menurut cerita yang berkembang Boncel pada saat itu dipercaya untuk mengurusi kuda di gedogan atau istal (kandang kuda) yang pada saat ini menjadi alat transportasi, karena keinginan untuk terus maju dan berkembang regen boncel meski bekerja mengurusi kuda akan tetapi ia sering memperhatikan anak tuannya yang belajar menulis dan membaca dan disaat itulah Boncel ikut belajar sampai suatu hari tuan regen boncel melihat tulisan di diding gedogan/istal kuda dibelakang rumahnya, lalu tuannya menanyakan pada anaknya tentang tulisan tersebut dan anaknya menjelaskan bahwa yang menuliskan itu adalah boncel, mulai dari saat itulah regen boncel diketahui kelebihannya dan seiring dengan perkembangan kemampuan regen boncel ia dipercaya menjadi orang kepercayaan sampai menjadi regen di kergenan atau kabupaten Caringin sesuai dengan perkembangan pemerintahan pada tahun 1816, pemerintah kolonial telah membagi Kesultanan Banten menjadi 4 kabupaten.
Sebagaimana menurut TB Najib (Tulisan dalam Website Disbudpar Banten) bahwa pembagian empat kabupaten Oleh colonial yaitu: Ki Patih Derus diangkat dengan gelar Patih di Banten Kidul, membawahi Bupati angkatan pertama dari pemerintah kolonial yang masih dipilih dari para keturunan bekas para sinuhun Negara Kesultanan Banten, yaitu yang bernama Pangeran Senadjaya alias Ratu Bagus Djamil. Ia menduduki jabatan dari tahun 1817 sampai dengan tahun 1830. Demikian juga di Banten Lor (Serang) jabatan Bupati dari zuriat Kesultanan Banten, Pangeran Mudzakar Ari Santika ( 1816-1827), dan Banten Kulon yang menjabat Bupati adalah TB.Wirajaya alias Regen Boncel. (1816- ? )
Nasib boncel telah berubah yang awalnya sebagai pengurus kuda kini menjadi Regen yang disegani, sebagai kesempurnaan regen memiliki istri seorang wanita diwilayah caringin, setelah menjadi regen Caringin tentu Boncel memiliki ketenaran yang sampai terdengar oleh orang tuanya, sehingga bapak dan ibunya memiliki inisiatif untuk menemui regen boncel dari wilayah jawa barat ke Caringin, setelah orang tua regen boncel melakukan perjalanan ke Caringin sampailah di kediaman regen boncel (kantor keregenan) akan tetapi sebelum orang taunya masuk kedalam mereka dihadang oleh prajurit yang menjaga gerbang keregenan Caringin, lalu prajurit memberitahukan akan kedatangan orang tua nya akan tetapi regen boncel tidak menanggapi karena ia sedang menyambut tamu besar keregenan, sedangkan di depan gerbang orang tua nya adu mulut dengan prajuritnya, karena memaksa orang tua regen boncel maksa masuk kedalam menemui regen boncel, setelah bertemu dengan regen boncel orang tuanya begitu bangga melihat anaknya yang berhasil namun sayang Boncel tidak mengakui bahwa mereka yang berpakaian dan penampilan sederhana itu orang tua nya mungkin karena malu terhadap isteri dan para tamu yang ada di dalam keregenan pada saat itu, karena tidak di akui sebagai orang tuanya lalu mereka keluar dan perge ke arah utara Caringin untuk pulang, tidak lama setelah kedua orang tua nya perge regen boncel menyesal telah mengusir kedua orang tua nya dan memerintahkan kepada para prajuritnya untuk mengejar mereka, akan tetapi kedua orang tua nya telah menghilang di tepi sungai di wilayah Desa Tenjolahang yang berjarak sekitar satu kilometer dari Caringin. Tidak lama dari kejadian itu kemudian regen Boncel ditimpah penyakit gatal-gatal seluruh tubuhnya yang disebabkan ulah kedurhakaannya terhadap orang tua nya.
Cerita rakyat tentang regen boncel memang familiar meskipun tidak meluas pada segi lain seperti sistem pemerintahan maupun budaya pada masa itu, terlepas dari itu kini diketahui kuburan regen Boncel terletak di desa Pejamben kecamatan Carita, desa pemekaran dari desa Caringin.
III). Meletusnya Gunung Krakatau
Fenomena meletusnya gunung krakatau pada tahun 1883 yang menelan korban jiwa sebanyak 15000 jiwa sampai dengan hari ini telah menjadi catatan sejarah besar karena pengaruh meletusnya Gunung Krakatau yang memiliki tinggi sekitar 2000 meter dari atas permukaan laut telah menghancurkan ¾ bagian tubuhnya yang hanya tinggal 813 meter dari atas permukaan laut. Gesekan dua lempengan besar antara Indo-Australia dan lempengan Pasifik menyebabkan terjadinya gesekan dan tekanan yang sangat besar, sehingga menimbulkan letusan yang dahsyat. Gemuruh letusannya mampu terdengar sampai radius 3000 Km, di antaranya terdengar hingga Darwin-Australia, hempasan gelombangnya hingga sampai radius 7000 Km, atau hingga semenanjung Arab. Gelmbang Tsunami atau gelombang pasang hingga menempa pantai barat Amerika Tengah dan telah terjadi kerusakan berat di Hawai. Hujan batu vulkanik hingga sampai pada radius 780.000 Km. (Tubagus Najib dalam Disbudpar Banten)
Tsunami yang disebabkan letusan krakatau juga tidak lepas dari perjalanan sejarah Caringin sebagai keregenan bahkan kota penting di Banten Kulon sehingga mempengaruhi pemerintahan keregenan Caringin setelah masa regen Boncel, sebagai usaha untuk mengetahui  lebih komprehensif dilakukanlah penelitian arkeologi bawah air tahun 1985 atau anderwater di pantai Caringin, telah ditemukan artefak bangunan, struktur kanal, framen keramik dll, kurang lebih sekitar 20 meter dari garis pantai saat ini, bahkan hingga saat ini masih ada tiang bangunan yang diperkirakan tiang sebuah masjid Agung Caringin, jaraknya dari garis pantai sekitar 7 meter diwaktu pasang. Tiang bangunan tersebut berada di pantai Caringin atau di lokasi situs Gedung Rombeng, namun sangat disayangkan saat ini beberapa benda peninggalan sejarah penting telah tiada meskipun beberapa lainnya telah diselamatkan di monumen.
Berikutnya pada tahun 2003 ini, penelitian dilakukakan untuk menyusuri hulu kanal yang pada tahun sebelumnya telah diketahui hilirnya yang ditemukan di bawah permukaan air laut. Hulu kanal telah ditemukan di desa Banyubiru, Kecamatan Labuan, sementara bentuk kanal telah berubah, posisinya sudah tidak lurus dan bentuknya seperti aliran sungai. Sebaliknya sungai Cikande yang berada pada arah lor atau Caringin Lor bentuknya semangkin menyempit. Sungai Caringin yang merupakan sungai besar dan pensuplay hasil bumi dari hulu sduah tidak bisa ditemukan lagi, yang ada sungai Cisanggoma yang besar kemungkinan Cisanggoma ini bekas kanal yang berubah menjadi seperti sungai. (Tubagus Najib)
IV). Syekh Asnawi (Ulama dan Pejuang perlawanan kolonial Belanda
Caringin sampai dengan hari ini masih menjadi kota santri dan wisata religi baik domestik sampai mancanegara, kondisi ini terjadi karena keberadaan makam aulia yaitu Syekh Asnawi terlahir di Kampung Caringin, Labuan Banten, sekitar tahun 1850 dengan ayah bernama Abdurrahman, dan ibunya, Ratu Sabi’ah. Bahkan, disebutkan pula bahwa Kiai Asnawi masih keturunan Sultan Ageng Mataram Raden Patah. Tak heran jika sejak kecil, Asnawi hidup dalam didikan yang baik.
Sebelum melanjutkan patut dipaparkan akan bukti arkeologi pasca letusan gunung krakatau terdapat kubur-kubur kuno di sepanjang pantai Caringin dan disana pula lokasi makam Syekh Asnawi, antara lain kubur pejabat Bupati pertama Caringin yang bernama Regent Boncel dan istrinya, kubur Pangeran Jimat (apakah ada kaitannya dengan meriam Ki Jimat?), dan kubur para pejabat Bupati lainnya. Kompleks kubur tersebut secara toponim disebut Istana Gede di Desa Pejamben. Kubur para pejabat Bupati ini bentuk nisannya artifisial, sementara kubur ulama yang berada di Desa Caringin bentuk nisannya dari batu alam, polos halus dari batuan andesit. Kubur ulama ini di antaranya kubur K.Mas Caringin. Kubur.K.Mahdi, kubur K.Mas Abdurahman.
a mengalami perubahan lagi, apakah yang ke lebih baik ataukah ke yang lebih buruk. Bilamana ke yang lebih buruk akan terjadi bencana apalagi bagi Caringin. Caringin yang saat ini tidak hanya telah menjadi kota santri juga kota situs purbakala sebagai bukti korban dari letusan Gunung Krakatau. (Tubagus Najib)
Selanjutnya sebagaimana tulisan Afriza Hanifa tentang KH Asnawi Bin Abdurrahman Al Bantani di REPUBLIKA.CO.ID, bahwa pada usia yang masih sangat belia, sembilan tahun, Asnawi sudah dikirim ayahnya untuk menuntut ilmu ke Makkah. Di Tanah Suci, Asnawi kemudian bertemu gurunya, Syekh Nawawi Al Bantani, yang merupakan guru di Masjidil Haram. Hubungan sebagai guru dan murid juga diikat dengan asal kelahirannya yang sama (Banten), Syekh Asnawi dididik dengan baik hingga bekal ilmu nya cukup untuk Syekh Asnawi bersyi’ar agama di tanah kelahirannya. (Republika)
Kiyai dan pejuang julukan inilah yang diberikan pada Syekh Asnawi karena sebagai Kiyai beliau menyiarkan ajaran Islam di Caringin dan sekitarnya selain itu perlawanan Syekh Asnawi terhadap kolonial Belanda bersama-sama denga rakyat pribumi juga terus dilakukan karena kedzoliman yang dilakukan penjajah,  meskipun berbagai tantangan yang cukup berat baik kondisi pendidikan masyarakat maupun kompeni Belanda yang tidak senang terhadap kegiatan beliau, sehingga beliau sempat diasingkan ke Cianjur dan Tanah Abang-Jakarta dengan dalih pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial Belanda.
Cerita tentang Syekh Asnawi pada saat krakatau meletus juga masih menjadi cerita turun temurun, menurut salah satu sumber menyebutkan bahwa ketika sebelum gunung krakatau meletus beliau telah mengevakuasi kitab-kitab di rumahnya dan membawanya ke menes tepatnya di cigandeng-Menes (kaki Gunung Pulosari) karena mungkin syeh Asnawi telah mengetahui bahwa gunung Krakatau sangat potensial meletus dalam waktu dekat.
Pasca letusan dan sekembalinya Syekh Asnawi dari pengasingan beliau mendirikan masjid dengan nama masjid Caringin dan keluarga syekh mendirikan sebuah Madrasah Masyariqul Anwar bahkan berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat bahwa kayu untuk bangunan masjid tersebut berasal dari satu pohon yang dibawa dari daerah Kalimantan. Kontribusi syekh Asnawi terhadap masyarakat Caringin dan sekitar bahkan Banten sangat besar selain mendidik ilmu agama juga membentuk karakter umat agar memiliki mental pejuang, beliau meninggal pada tahun 1937, meninggalkan 23 putra dan putri.
Terimakasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar